"Nosan: Menguak Warisan Tradisi Menempa Suku Dayak Uut Danum"
![]() |
Docpri : Proses nosan dengan sistem pompa |
Kebiasaan ini secara khusus dilakukan menjelang berbagai kegiatan penting, terutama saat pengolahan lahan pertanian, seperti menebas ladang atau merumput untuk membuat parang, kapak, beliung, seraut, dan alat pertanian lainnya.
Selain itu, nosan juga menjadi bagian tak
terpisahkan sebelum aktivitas berburu, di mana mereka menyiapkan alat-alat
seperti kujur atau tombak.
Melalui proses nosan, logam umumnya besi dibentuk
dengan cara dipukul atau ditekan saat panas. Ini adalah sebuah teknik kuno yang
tak hanya mengubah wujud material, tetapi juga menjadikannya lebih kuat dan
siap untuk digunakan.
Proses Menempa
Tradisional: Dari Bara Ulin hingga Senjata Tajam
Metode menempa yang paling umum dan dikenal luas oleh
masyarakat Dayak Uut Danum adalah sistem
pompa. Dalam teknik ini, pompa digunakan untuk mengalirkan udara, yang
kemudian membakar potongan kayu ulin
hingga menghasilkan bara api.
Baca juga : Molandak Umok: "Ritual Adat Berladang Suku Dayak Uud Danum"
Kayu ulin dipilih secara khusus karena kemampuannya
menghasilkan bara yang sangat panas dan tidak cepat menjadi abu, menjamin suhu
tinggi yang stabil.
Untuk menjaga bara api tetap menyala, para tukang
menempa zaman dulu menciptakan peralatan sederhana: dua buah tabung dari kayu
ulin, dengan pompa yang terbuat dari bulu ayam halus yang dipasang di ujung
kayu dan dimasukkan ke dalam tabung.
Ketika kayu sudah membara, api dibiarkan hingga
sepenuhnya menjadi arang dengan bara
merah menyala sebelum logam besi
dimasukkan ke dalam perapian. Selama proses pemanasan ini, pemompaan terus
dilakukan untuk memastikan bara api tidak padam dan besi mencapai suhu yang
tepat.
Setelah logam besi memerah membara, proses pembentukan dimulai. Besi panas dipukul menggunakan palu besi di atas potongan besi keras, yang menjadi landasan utama tempat alat-alat pertanian atau berburu mulai terbentuk.
Setelah bentuk yang diinginkan seperti parang atau tombak tercipta,
proses selanjutnya yang disebut nyuhup
(menyepuh) akan dilakukan untuk menyempurnakan kualitas alat tersebut.
Lokasi dan
Keahlian dalam Tradisi Nosan
Aktivitas nosan
umumnya dilaksanakan di bawah kolong
lumbung padi. Lokasi ini dipilih karena sangat ideal; tempatnya teduh, memberikan perlindungan dari
sengatan matahari atau hujan yang tiba-tiba turun.
Saat nosan berlangsung, suasana menjadi riuh rendah oleh paduan bunyi besi
beradu dengan palu besi dan landasannya, menciptakan irama khas yang memberi nuansa
tersendiri.
Semakin hidup suasana, karena diselingi kokok ayam
jago dan suara ayam betina yang hendak bertelur pada sangkarnya di samping lumbung padi,
menambah alunan suara khas pedesaan
yang menenangkan.
Tradisi nosan bukanlah pekerjaan sembarangan. Hanya
individu yang benar-benar memahami
kadar kualitas besi yang dapat menjadi tukang nosan.
Setelah sebuah alat terbentuk sesuai keinginan, proses selanjutnya adalah penyepuhan atau yang dikenal sebagai nyuhup. Tahap ini dilakukan dengan cara merendam bagian alat yang akan ditajamkan ke dalam air yang ditempatkan dalam sebuah wadah.
Dahulu, masyarakat Dayak Uut Danum sering menggunakan juhkan urak, yaitu tempat makan ternak babi yang terbuat dari kayu ulin, sebagai wadah untuk proses penyepuhan ini.
Keahlian ini sangat penting, terutama pada tahap penyepuhan. Jika proses penyepuhan tidak sempurna, hasilnya bisa sangat mengecewakan.
Besi bisa menjadi terlalu keras (mahang), membuatnya mudah patah, atau terlalu lembut (bolemuk), yang
menyebabkan parang atau alat lainnya cepat rusak (boluik) dan tumpul saat
digunakan. Oleh karena itu, dibutuhkan keahlian dan pengalaman mendalam untuk
menghasilkan alat yang kuat dan berkualitas.
Dahulu,
ada mitos bahwa proses nyuhup (menyepuh) tidak bisa dilakukan
saat air sungai pasang (danum luhtot)
karena dipercaya akan menghasilkan sepuhan yang kurang baik.
Namun, anggapan ini sebenarnya bukan karena ketidakmampuan proses itu sendiri, melainkan karena penyepuh akan kesulitan melihat warna hasil sepuhan dengan jelas. Hal ini disebabkan oleh air sungai yang menjadi keruh saat pasang, sementara pada masa itu, sungai adalah satu-satunya sumber air yang digunakan.
Situasi ini berbeda jauh dengan
sekarang, di mana air bersih dan bening dapat dengan mudah diperoleh dari
penampungan air melalui pipa ke rumah-rumah.
Baca juga : Isuk Solakai: Kisah Pohuk Manuk dan Bukot
Karena
tidak semua orang memiliki keahlian nosan,
mereka yang tidak mampu menempa biasanya akan bekerja sama dengan pandai nosan.
Misalnya, seseorang yang tidak menguasai teknik menempa bisa membantu sebagai tukang pompa.
Selain
itu, ada juga yang meminta bantuan pandai nosan dengan sistem upah. Dulu, upah bisa berupa ayam, padi, atau beras. Bahkan, ada
juga kesepakatan untuk membayar dengan cara ikut membantu bekerja di ladang si pandai nosan. Saat ini membayar upah nosan dengan uang. Ini menunjukkan
betapa penting dan dihargainya keahlian menempa dalam masyarakat Dayak Uut Danum.
Nosan di Era
Modern: Tantangan dan Keuntungan Ekonomis
Sayangnya, penggunaan jasa tukang nosan kini mulai jarang ditemukan di
masyarakat. Kebanyakan orang lebih memilih untuk membeli alat-alat baru. Selain
itu, mencari tukang nosan yang benar-benar bisa menghasilkan kualitas sesuai
harapan juga semakin sulit di masa kini.
Padahal, jika dilihat dari sisi ekonomis, memanfaatkan jasa tukang nosan untuk memperbaiki atau membuat kembali alat-alat kerja justru jauh lebih hemat dibandingkan membeli yang baru.
Sebagai contoh, untuk menempa sebuah parang, biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp20.000 hingga Rp35.000, tergantung pada besar kecilnya parang yang akan dikerjakan. Sementara itu, harga parang baru di pasaran jelas di atas Rp50.000.
Jadi, pilihan ada di tangan kita: mau berhemat atau membeli yang baru?
***