Cerpen : KKG Nokan Nayan, "Merajut Asa Pendidikan"
![]() |
| Docpri : Foto bersama peserta KKG NN setelah acara pembukaan |
Arung
Ekstrem Menuju Kepingoi
Siang itu, 3 Oktober 2025, jam masih menunjukkan pukul 12.44 WIB, namun ketegangan sudah terasa mencekik. Mesin speed boat 15PK meraung, suaranya mencoba menenggelamkan gemuruh Sungai Ambalau.
Aku, seorang diri, di balik kemudi perahu fiber yang perutnya penuh 30 liter bensin campur, bahan bakar yang harganya terasa seperti tamparan keras di logika dan dompet.
Perjalanan ini,
menuju SDN 15 Kepingoi untuk membersamai KKG Gugus III Nokan Nayan, bukanlah piknik.
![]() |
| Docpri : Naik sampan fiber 15 PK usai mengisi BBM di Nanga Kemangai |
Di tengah keraguan yang membuat nyali menciut, darah
anak pedalaman bergolak. "Gas pool!"
bisikku pada diri sendiri.
Mesin meraung histeris. Sampan bergetar, oleng ke kiri
dan ke kanan bak preman amatiran mabuk tuak manis dihantam gelombang. Air menyembur
deras. Syukurlah, Riam Kepala Ruan berhasil terlewati. Walau air membanjiri
perahu, semua bekal, terbungkus plastik, selamat. Sebuah pelajaran abadi di medan
ekstrem. Persiapan adalah kunci.
Pukul 14.53 WIB, tiba di pertengahan perjalanan, Desa Mensuang. Kelelahan segera luntur oleh kehangatan sejenak di rumah lanting penduduk, Otong Koik. Suguhan kopi pahit dan sirih pinang menjadi penawar mujarab, mengisi ulang separuh semangat.
Perjalanan dilanjutkan. Pukul 17.20 WIB, aku tiba di Desa Sabon,
memarkir sampan, dan bergegas mencari keteduhan rumah keluarga untuk
mengumpulkan energi bagi ziarah pendidikan esok hari.
Ritual
Sakral di Gerbang Ilmu
Pagi 4 Oktober 2025, di halaman SDN 15 Kepingoi, aroma sungai berganti aroma sakral.
Sebelum KKG Gugus III Nokan Nayan resmi dibuka pukul 08.00 WIB, sebuah momen
spiritual terjadi. Sesuai adat Dayak Uud Danum, dilaksanakan ritual Pohpas. Dengan seekor ayam,
tetua adat membersihkan lokasi dari roh jahat, menghormati duka yang baru saja
menyelimuti sekolah karena salah satu siswa meninggal dunia. Keselamatan spiritual, demikian
kearifan lokal mengajarkan, adalah fondasi sebelum menimba ilmu.
Ritual dilanjutkan dengan pemasangan manik-manik (sirou) oleh tetua
adat kepada Pengawas Sekolah dan delapan Kepala Sekolah yang mewakili gugus.
Ini adalah peneguhan roh semenget moruak, semangat kepemimpinan yang
siap membawa perubahan positif.
Tak lupa, ramuan sakral sahkang palik disiapkan oleh tetua. Ramuan ini bermanfaat untuk menjaga manakala pada saat keramaian kegiatan ada salah ucap, salah laku, agar peserta akan terhindar dari marabahaya.
Acara pembukaan disemarakkan oleh tarian adat
siswi-siswi, disusul pemutaran video profil sekolah. Sebuah karya memukau yang
dibuat oleh guru setempat, Siska, SE. Kehadiran Ketua Komite dan Tokoh Adat
setempat menggarisbawahi kolaborasi kuat antara sekolah dan komunitas.
Tiga Hari
Merajut Asa
Selama tiga hari, 41 guru peserta dengan antusias menggali kompetensi mereka. Sesi
materi dibuka olehku dengan membawakan Implementasi BERAKHLAK. Kemudian dilanjutkan oleh Helena Bunga, S.Pd., yang
memperkenalkan Pembelajaran Mendalam (Deep
Learning) dan modul ajarnya. Sesi ditutup oleh Paula Juniati, S.Pd.,
dengan materi Edukasi Sekolah Ramah
Anak (SRA) dan pembentukan Tim
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).
![]() |
| Docpri : Materi implementasi BERAHKLAK oleh Pengawas Sekolah |
Setiap konsep tidak hanya ditelan secara teori, tetapi
langsung diaplikasikan melalui praktik. Tercipta suasana nyaman dan
kebersamaan, mencerminkan roh Pembelajaran Mendalam (deep learning); berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan.
Di sela kegiatan yang padat, aku bersama dua rekan
guru menyempatkan diri untuk bersilaturahmi, mengunjungi Pak Dorong, Guru Tidak Tetap (GTT)
yang sudah sepuh, dan seorang guru PNS yang pensiun, Pak Sumarto. Kunjungan ini adalah wujud
nyata penghargaan atas dedikasi
mereka. Mereka adalah sejarah hidup dan rekan seperjuangan yang patut
dihormati.
Baca juga : Konferensi Cabang PGRI Ambalau: Ketika Budaya Lokal Menjadi Jiwa Kebersamaan.
Pada acara penutupan, aku berdiri di hadapan para
guru. Pesanku lugas, penuh harap. "Ingatlah, KKG Gugus Nokan Nayan adalah rumah besar delapan sekolah di ujung Sungai
Ambalau, Sungai Jengonoi, dan Sungai Mentomoi. Maka, jadikan komunitas ini sebagai ajang untuk berdiskusi,
berkolaborasi dan berbagi praktik baik demi mencetak
generasi unggul untuk masa depan."
Sesi penutup ditandai dengan transparansi dan gotong
royong. Laporan panitia, diwakili bendahara Siska, SE., mengonfirmasi adanya sisa saldo
kas. Dengan semangat kesadaran kolektif, sisa dana itu diserahkan kepada
Bendahara Gugus, menjadikannya modal
berharga untuk membiayai kegiatan Gugus Nokan Nayan berikutnya.
Rindu di
Bawah Mantel Lusuh
Pukul 14.45 WIB, 6 Oktober 2025, usai santap siang terakhir, saat perpisahan itu
tiba. Kami berdiri di tepi sungai, langit mulai meneteskan air mata. Rintik
hujan mulai membasahi bumi, seolah ikut mengiringi perpisahan yang manis. Aku
segera menyelimuti diri dengan mantel
plastik transparan yang lusuh, perlindungan sederhana dari derasnya hujan
di tengah perjalanan.
Mesin perahu menderu lagi. Perahu melaju, membelah air sungai yang kini tampak lebih tenang. Setiap lekukan sungai terasa seperti babak penutup kisah yang baru saja usai.
Akhirnya, pukul 17.49 WIB, aku
menjejakkan kaki kembali di rumah Nanga Kemangai, dalam keadaan selamat.
Perjalanan sarat makna ini telah tuntas. Ia
meninggalkan bukan sekadar catatan dinas, melainkan kenangan manis perjuangan dan jalinan asa pendidikan yang kini terajut kuat, berdenyut hangat di
jantung penghujung Sungai Ambalau***


