Bahtuk Tomarang Lukup
![]() |
| Gambar adalah ilustrasi AI; Lukup dan Jin tinggal di Gua |
Sejak kecil, Lukup dikenal sebagai anak yang rajin, sopan santun, lemah lembut, serta sangat penurut. Setiap hari, ia membantu kedua orang tuanya tanpa pernah mengeluh. Tugasnya cukup banyak. Memberi makan ayam, mengambil air dari sungai, memasak nasi menjelang petang, hingga membantu pekerjaan rumah lainnya. Karena sikapnya yang terpuji itu, semua tetangga menyayanginya.
Walau rajin bekerja, Lukup tetap memiliki waktu untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Namun, seberapa pun ia bermain, ia tak pernah melupakan tugas dan pesan orang tuanya. Itulah sebabnya kedua orang tuanya sangat mencintainya.
Umban Jatuh Cinta
Tahun demi tahun berlalu, Lukup tumbuh menjadi gadis remaja yang semakin cantik. Namun, kecantikan itu tak membuatnya sombong. Ia tetap rendah hati dan rajin bekerja di rumah.
Suatu hari, sebelum berangkat ke ladang, ibunya berpesan, “Lukup, nanti jemurlah padi seperti biasa di seberang sana, jauh dari ayam dan babi. Jangan lupa ditunggu, supaya tidak basah kalau tiba-tiba hujan.”
Lukup mengangguk patuh. Pekerjaan di rumah selesai. Lukup mengambil tempajang (tajung/suhkat) berisi padi dari lumbung, lalu menuruni tangga menuju sungai. Untuk menyeberang, ia harus melompat ke sebuah batu besar di tengah sungai, sesuatu yang sudah ia lakukan sejak kecil.
Baca juga : Nohkan Lipung : “Kisah Isan dan Otuk Hajok”
Tanpa ia sadari, dari puncak Bukit Boranoh, ada seorang laki-laki yang selalu memperhatikannya. Ia bukanlah manusia biasa, melainkan Umban, seorang Jin Penguasa Bukit tersebut. Setiap kali Lukup menjemur padi, Umban selalu mengamatinya dari kejauhan. Hari demi hari, rasa kagum itu pun berubah menjadi benih cinta yang tak terucapkan.
Suatu siang, ketika Lukup selesai menjemur padi, Umban memberanikan diri mendekat dan mengutarakan isi hatinya. Lukup terkejut dan malu. Sebagai anak yang baik, ia tak mampu merangkai kata tanpa restu dari orang tuanya.
Beberapa hari kemudian, Umban datang kembali menanyakan jawabannya. Dengan wajah memerah menahan malu, Lukup berkata pelan, “Orang tuaku mengizinkan.” Hati Umban pun bersorak gembira, seolah taman bunga mekar di dalam dada.
Pesta yang Meriah
Setelah menentukan hari pesta, Umban mengutus Polahkak Bulou, pengantar khas kaum Jin, untuk mengundang masyarakat dari berbagai kampung, Boranoh, Sorae, Morihke, Madi, Barane, Pere, Ledan, hingga Tanjung Andau. Pesta berlangsung tujuh hari tujuh malam, penuh tarian, makan bersama, dan kegembiraan.
Setelah pesta berakhir, seluruh tamu pulang ke kampung masing-masing. Sementara itu, Lukup tinggal bersama Umban di Bukit Boranoh.
Umban Pergi Berburu
Kehidupan Lukup dan Umban berjalan harmonis. Mereka saling menyayangi.
Pada suatu pagi, Umban berkata, “Hari ini aku pergi berburu. Engkau tinggal di rumah dan jaga diri baik-baik.”
Umban lalu masuk ke dalam hutan belantara, membawa alat berburu berupa sumpit (Sohpot) dan tempat anak sumpit beracun (Tolop). Matahari terik namun hujan rintik turun, pertanda baik bagi pemburu. Umban mendengar suara gaduh sekawanan kera. Ia mengendap perlahan, mengambil satu anak sumpit, meniupnya kuat-kuat, dan mengenai sasaran dengan tepat. Dalam sekejap, buruannya rubuh tak bernyawa.
Menjelang sore, Umban pulang ke gua tempat mereka tinggal, membawa hewan buruan itu.
Danum Kaharingan Bolum (Air Kehidupan)
Umban meminta Lukup membersihkan buruan itu untuk makan malam. Namun, ketika pandangan Lukup jatuh pada buruan suaminya, seketika ia menjerit, menumpahkan segala duka yang tak tertahankan. Ternyata, buruan itu bukanlah hewan, melainkan seorang anak kecil, yang tak lain adalah keponakan Lukup sendiri.
Ketika Umban datang ke dapur, ia kebingungan melihat Lukup menangis.
“Mengapa engkau bersedih di depan buruan itu?” tanya Umban.
Lukup menjawab sambil terisak, “Mengapa engkau tega membunuh anak cucu keturunanku? Darah kami sama, mengapa kau merenggut nyawanya?”
Umban terkejut. Ia lupa bahwa penglihatan Jin dan manusia berbeda. Bagi kaum Jin, manusia jauh lebih sulit dibedakan dari hewan ketika berada di hutan.
Karena penyesalan yang mendalam, Umban berkata, “Aku akan pergi ke langit untuk mengambil air kehidupan agar anak ini hidup kembali. Tapi, kau harus ingat, jangan biarkan setetes pun air matamu jatuh menyentuh tubuhnya.”
Umban terbang ke langit menggunakan Polahkak Bulou, mengerahkan seluruh kekuatannya. Setelah berjuang dan berhasil memperoleh air kehidupan , ia turun kembali dan mendekati jasad anak itu.
Namun, hati Umban hancur bagai kaca terhempas batu. Alangkah sedihnya ia ketika melihat tubuh kecil itu basah oleh air mata Lukup.
“Lukup, mengapa engkau mematahkan harapan yang baru saja kuraih? Mengapa engkau tidak mendengar pesanku?” Suara Umban lirih, tercekat oleh kesedihan yang tak terobati. “Sekarang, aku tak dapat menghidupkannya lagi.”
Lukup kembali menangis tanpa henti. Air matanya adalah penyesalan yang terlambat, mengalir membasahi takdir yang telah terkunci.
Air Kehidupan Ditumpahkan
Dengan hati hancur, Umban berpesan, “Mulai sekarang, sampaikan kepada anak cucumu, bila hujan panas (ucan notang), jangan bermain di tanah. Dan, jika kebetulan berjalan di luar rumah, selipkanlah rumput atau daun segar di telinga agar kaumku dapat membedakan manusia dengan hewan buruan.”
Air Kehidupan yang tak lagi berguna itu akhirnya ditumpahkan ke puncak Bukit Raya. Seketika, air itu membentuk sebuah telaga yang hingga kini dipercaya masih ada, namun hanya bisa ditemukan oleh orang-orang yang beruntung.
***
Penulis : Hendro
Editor : Jonison
Cerpen ini salah satu cerpen yang diperlombakan dalam ajang menulis cerpen HUT ke-80 PGRI dan HGN Tahun 2025 PC Ambalau, dan mendapat juara harapan 1.

Mantap Pak, lanjutkan