Namit Sabhang Tingkatan dalam SAHKIK KORUH ( Ritual Pernikahan Adat Suku Dayak Uud Danum )
Pernikahan adat Suku Dayak Uud Danum di Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang, merupakan sebuah ritual yang sarat dengan makna dan simbolisme.
![]() |
Doc. Pernikahan Adat Titin di Dusun Sungai Ombak |
Pernikahan adat ini mencerminkan keunikan budaya dan kearifan lokal yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Prosesnya
tidak hanya menjadi momen sakral bagi kedua mempelai, tetapi juga melibatkan
seluruh warga dalam sebuah perayaan yang meriah dan penuh kebersamaan.
![]() |
Docpri menghadari pesta pernikahan adat Adi dan Lusi |
Penulis
menelusuri lebih dalam perjalanan sakral sahkik koruh dengan tingkatan namit
sabhang. Dari persiapan , puncak dan akhir ritual terdapat bagaimana kearifan lokal Suku Dayak Uud Danum
mewarnai setiap langkah dalam prosesi pernikahan adat tersebut.
Kelengkapan (benda)
yang perlu dipersiapkan.
Sebelum ritual sahkik koruh (pernikahan adat) dimulai, pihak keluarga yang akan menyelenggarakan pernikahan adat dan pengurus adat setempat saling berkoordinasi. Mereka harus menyiapkan beberapa kelengkapan/benda penting.
Kelengkapan tersebut meliputi selembar kacang kaling (tikar). Tikar
ini terbuat dari daun pandan. Tikar ini penting untuk upacara pernikahan. Selembar tikar
dihamparkan di tengah-tengah ruang tamu.
Dahulu,
orang tua menggunakan tikar dari bahan rotan. Namun kini tikar rotan sulit
ditemukan. Tikar rotan dapat digantikan dengan tikar berbahan daun pandan.
Tikar memiliki makna bahwa dalam berumah tangga sangat diperlukan kesabaran dan
ketabahan. Hal ini digambarkan melalui proses anyaman selembar daun pandan atau
bilahan rotan yang kecil, yang memerlukan kesabaran dan ketabahan hingga
menjadi sebuah tikar yang lebar dan nyaman untuk dijadikan alas tidur atau
beristirahat.
Baca juga : Batu Ahik (bag.I)
Sebuah
kolatung (gong) dilapisi kain diletakkan
di atas tikar. Di tengah-tengah tikar, diletakkan sohpot (sumpit), sebatang uwoi
sohkok (rotan), dan pohon sabhang
(pohon kehidupan) yang diikat bersama-sama mengarah ke atap plafon.
Berbagai
kelengkapan lainnya, berupa batu asah, segumpal tanah yang diletakkan di atas
batu asah, jala, berbagai jenis dedaunan seperti somomolum, kajuk posik, ponyokaan, sokojunjung, jaren, kajuk icok kujan, dan lainnya.
Ada
juga piring berisi darah babi, piring berisi darah ayam, piring berisi kemenyan
yang dibakar, piring berisi beras biasa, piring berisi beras pulut, piring
berisi sirou (manik-manik), tali
tongang, telur ayam, sihpak somahkuk
(bahan menyirih), manas sambon
(lemiyang), sulau, busik, uhing. lasung labai (gelang), parang dan soloh saliu (sarung dan baju
wanita satu stel atau lebih).
Makna benda yang disiapkan
Gong
dilapisi kain memberikan makna sebuah benda bokanak / maharik/bokanan (ada
penguasa) untuk mempersatukan kedua insan dalam kehidupan berumah tangga.
Uwoi sohkok (rotan jenis yang kecil , kuat dan panjang)
memiliki makna pengganti jiwa raga dan boliet
(tahan) tidak pomomak (sakit-sakitan)
Batu
asah dalam ritual melambangkan penajaman kehidupan, seperti halnya benda yang
diasah menjadi lebih tajam.
Jala,
melambangkan alat untuk mencari rejeki.
Berbagai
dedaunan memiliki makna khusus sesuai namanya dalam bahasa Dayak Uud Danum.
Sihpak
somahkuk, maknanya supaya maharik tuhtui
auh (kata-kata yang berharga)
Manas sambon (lemiyang) bermakna nutung asong (penyambung nyawa) , lasung labai (gelang berwana kuning
kecoklatan) melambangkan bagimana kuningan yang tidak berubah warna, uhing (semacam gemerincing) dimaknai supaya
tidak bisu sekaligus kode panggilan saat berjauhan.
Parang
dalam ritual ini melambangkan komahang moruak
(penguat semengat) tidak sakit-sakitan serta keinginan untuk memusnahkan
kejahatan.
Beras
melambangkan kebutuhan manusia akan makanan. Beras pulut melambangkan lengket, kekencangan
dan keteguhan dan tidak tercerai berai.
Prosesi pernikahan adat.
Kedua
mempelai duduk di atas gong yang sudah disediakan. Mereka akan memegang sohpot sumpit, sebatang uwoi sohkok (rotan), dan pohon sabhang
yang diikat bersama-sama mengarah ke atas saat upacara berlangsung.
![]() |
Doc. Prosesi nikah adat |
Posisi
pegangan harus tepat, dengan telapak tangan wanita di bawah telapak tangan laki-laki,
mencengkeram pohon sabhang, sumpit dan rotan dengan jari telunjuk mengarah ke
atas. Ini menjadi simbol kesepakatan dan laki-laki sebagai pelindung dalam
keluarga. Di sini menunjukkan sumpah janji nikah dihadapan Lanying Hatalak (Tuhan) untuk hidup bersama sampai maut memisahkan.
Ritual
mohpas (tepas) umumnya dilakukan oleh
tiga tetua (imam). Sebelum memulai
ritual mohpas ketiga tetua tersebut harus
dipasang sirou (manik-manik). Pemasangan manik-manik bertujuan untuk memberikan
tetua semangat yang kuat dalam
melaksanakan ritual mohpas. Secara
bergiliran ketiganya mohpas dengan memegang seekor ayam dengan
posisi kaki ayam ke atas dan kepala ke bawah.
Mereka
melantunkan parung, yaitu kata-kata dengan
alunan nada tertentu berisi ceritera, pesan moral, harapan, doa dan berkat untuk kebahagiaan kedua mempelai.
Seekor ayam dengan posisi
kaki ayam ke atas dan kepala ke bawah sesuai dengan tradisi yang memberikan
makna dan tujuan khusus bagi penguasa alam semesta.
Jika ada ponyakak dapat dipegang bersamaan dengan ayam.
Selama proses mohpas, ada orang tertentu ditugasi untuk merapikan rambut kedua mempelai menggunakan minyak rambut dan sisir rambut.
Minyak rambut agar tercipta aroma wangi harum semerbak.
Menyisir rambut bertujuan untuk membuang
dahaik ponyalak (kesialan / roh jahat)
supaya hilang dari kedua mempelai.
Kedua
mempelai disuapi sihpak somahkuk
(menyirih) oleh perwakilan yang dituakan dan punya kelebihan tertentu.
Kelebihan tertentu itu seperti memiliki keluarga yang utuh atau tidak ada yang
meninggal, keluarga harmonis dan cukup terpandang. Menyirih bertujuan agar kedua
mempelai mencicipi tuah rejeki melalui perantaraan orang tersebut.
Kemenyan
dibakar. Aroma asap kemenyan membuat ayam telicet kanam (terbangun) tonyuhkuh
nyahum (bergerak) berangkat menuju sang kakeknya yang bernama Ulang Uluk di
Kayangan. Sang Kakek akan memberitahu tempat-tempat yang membawa rejeki dan
sesuatu yang berkhasiat untuk diambil bagi kedua mempelai. Melalui perantaraan
asap kemenyan Sang penguasa alam semesta tahu bahwa di bumi sedang ada ritual.
Baca juga : "Legenda Babik Lango dan Tradisi Dunik Masyarakat Dayak Uud Danum"
Berikutnya, mani-manik
dipasangkan dipergelangan tangan kedua mempelai dan lasung labai (lemiyang) dipasang kepada wanita oleh tetua yang
memiliki kelebihan khusus.
Kemudian,
ritual nyahkik (nyengkelan) dilakukan
oleh tetua, dengan menggunakan danum kaharingan
bolum (darah ayam) yaitu tetesan darah ayam yang berupa air bening yang ada
disekitar darah dalam sebuah piring. Bisa
juga dengan menggunakan telur ayam yang dipecahkan bagian ujungnya. Cairan sebagai
simbol kehidupan yang sejuk dan suci.
Ritual
nyengkelan melibatkan pengolesan pada telapak kaki, dada, punggung dan dahi kedua
mempelai, yang masing-masing memiliki makna dan simbol mendalam bagi mereka.
Selanjutnya
kedua mempelai tonopabak/mabak (menyentuh
bibir dengan parang) dengan tujuan agar keduanya memiliki semengat (roh) yang
kuat dan kebal terhadap marabahaya.
Beras
kongurun (ditaburkan) di atas kepala kedua mempelai bertujuan untuk
mengumpulkan ketujuh semengat agar menyatu kembali pada kedua mempelai dan
tidak tercerai-berai.
Nyahkik (nyengkelan) sabhang menggunakan
cairan telur ayam dari bawah ke atas sebanyak tiga kali oleh kedua mempelai.
Dilakukan dari bawah ke atas dimaknai supaya rejeki mereka menjadi naik.
Kedua
mempelai berdiri bersamaan. Awalnya kuat
balang (berdiri tidak jadi) tujuannya supaya yang tidak baik menjadi batal.
Baru kemudian kuat solung (berdiri jadi)
artinya biar jadi semua yang baik-baik.
Gong
diangkat dan dipukul tiga kali, diawali oleh mempelai lelaki lalu dilanjutkan
oleh perempuan. Suara gong yang nyaring dimaknai agar ketenaran kedua mempelai
terdengar seperti suara gong sampai kemana-mana.
Ngonyimai
sopajan (melompat menyentuh ring balk bangunan rumah) oleh mempelai lelaki
terlebih dahulu sebanyak tiga kali yang dikuti perempuan. Konon ayam yang
digunakan untuk mopas setelah kembali dari tempat-tempat yang membawa rejeki
dan sesuatu yang berkhasiat sesuai petunjuk kakek Ulang Uluk kemudian turun dan
bertengger di sopajan (ring balk), maka itulah sebabnya
ring balk wajib disentuh untuk mengambil rejeki tersebut.
Tetua
membuka ikatan sabhang, rotan, dan sumpit dari tiang penyangga, kemudian
perempuan memegangnya di depan dan lelaki di belakang dalam posisi dipikul,
untuk selanjutnya ditanam.
Sebelum
tanah digali, tetua dengan posisi menghadap matahari terbit mengoles tanah untuk
meminta izin agar Sang Nabi Tanah
(Puyang Gana) tidak heran saat tanah tersebut dipakai untuk menanam sabhang.
Parung
atau doa juga dilakukan. Tidak ketinggalan sambil berbagi minuman tuak.
Akar
pohon sabhang lalu ditimbun dan diberi sesajian disertai doa, harapan, memohon
rejeki dan kemudahan bagi kedua mempelai dari Sang Penguasa tanah.
Pohon
sabhang ditanam di halaman rumah. Pohon sabhang sebagai saksi janji pernikahan adat
kedua mempelai. Pohon ini menjadi
pengingat bagi mereka untuk berpikir bijaksana dalam menghadapi perselisihan
dan mencegah perceraian.
Ritual Dijala dan Tradisi Tobung dalam
Pernikahan Adat
Selanjutnya
kedua mempelai menuju sungai untuk dijala. Seorang penjala dipilih dari salah
satu paman pihak mempelai lelaki yang dianggap memiliki suatu kelebihan. Menjala
dimaknai untuk mendapatkan pocihan koruhoi ponyang (tuah rejeki)
bagi kedua mempelai.
![]() |
Docpri : acara menjala kedua mepelai |
Sebelum kedua mempelai masuk kedalam air, tetua mengucapkan
mantra sekaligus memberikan kode tertentu pada air dengan ujung parang. Kode
tersebut layaknya peta lokasi meminta ijin kepada Sang Penguasa Air bahwa kedua
mempelai akan mandi di lokasi tersebut.
Sebuah
kelapa tua dan somahkuk (tembakau) digunakan
sebagai tobung (peluru) dan dilemparkan di area tempat kedua mempelai akan
mandi. Kelapa tua dipilih karena mengandung air yang bersih dan suci. Tembakau
diartikan moharik (menyengat) demikian
juga doa dan harapan serta ucapan dari semua yang hadir.
Saat
dijala kedua mempelai menyelam dan wajib menyebutkan nama kedua mertua masing-masing
supaya tidak tulah (tawar) jika suatu saat secara sadar atau tanpa sadar menyebut
nama kedua mertua mereka.
Setelah ritual menjala, kemudian sang mempelai perempuan memakai soloh saliu (pakaian yang sudah disiapkan) kemudian kembali ke rumah tempat pesta berlangsung.
Jika
makanan sudah matang selanjutnya proses pemberian makan kepada kedua mempelai
terlebih dahulu sebelum semua pengunjung menikmati hidangan.
.............
tamat .................
Nara Sumber
:
Rabab, S.Sos.
B. Lubis (Anggota Pengurus Adat Desa Lunjan Tingang).