Merajut Asa di Ujung Negeri: Kisah KKG di Kecamatan Ambalau

Docpri : Bersama Peserta KKG G IV Nokan Nayan
Literasiuuddanum.com - Kelompok Kerja Guru (KKG) adalah energi pendorong kemajuan pendidikan. Wadah kolaborasi ini memberdayakan guru untuk berkreasi, memecahkan masalah, dan terus berkembang secara profesional. KKG memastikan setiap pendidik siap menghadapi tantangan, demi terciptanya pembelajaran yang optimal dan bermutu bagi siswa.

Pelaksanaan KKG Gugus di Kecamatan Ambalau

Sebagai upaya memberdayakan anggota, tiga dari lima gugus Kelompok Kerja Guru (KKG) di Kecamatan Ambalau telah melaksanakan kegiatannya pada akhir Mei hingga awal Juni 2025. Meskipun awalnya disepakati dijadwalkan di awal atau pertengahan semester II Tahun Pelajaran 2024/2025, jadwal ini disesuaikan untuk memastikan peningkatan partisipasi anggota.

Baca juga : “KKG Gugus 3 Nokan Nayan: Pengalaman & Kebersamaan dalam Keterbatasan”

KKG Gugus II Nokan Cecak telah melaksanakannya pada 23-24 Mei 2025 di SDN 3 Kemangai, diikuti oleh KKG Gugus I Batu Nyandung yang berlangsung pada 26-28 Mei 2025 di gedung serbaguna Kecamatan Ambalau. Sementara itu, KKG Gugus IV Nokan Nayan melaksanakan kegiatan pada 3-5 Juni 2025 di SDN 10 Menantak.

Perjalanan Menuju Lokasi KKG: Menembus Keterbatasan Geografis

Setelah menyelesaikan pendampingan kegiatan KKG di Gugus I dan II, pada 2 Juni 2025, setelah menghadiri pengumuman kelulusan dan pelepasan siswa kelas VI di SDN 3 Kemangai, saya sebagai PSP /Pengawas SD bertolak menuju SDN 10 Menantak.

Keberangkatan dilakukan sore hari, sekitar pukul 14.25 WIB, menggunakan perahu fiber bermesin 15 PK. Sebelum memulai perjalanan, bahan bakar sebanyak 30 liter diisi di kios BBM dengan harga Rp15.000 per liter. Seorang ibu guru bersama balitanya turut menumpang dalam perjalanan ini.

Perjalanan terasa menantang karena Sungai Ambalau dan Sungai Jengonoi sedang pasang. 

Sepanjang perjalanan, kehati-hatian dan fokus tinggi sangat dibutuhkan untuk menghindari potongan sampah kayu dan ranting yang hanyut. Berulang kali, kaki speed perahu harus diangkat guna memastikan tidak ada sampah yang tersangkut di kipas mesin.

Baca juga : “KKG Gugus 4 Batu Harimau: Petualangan dalam Meningkatkan Kompetensi Guru di Pedalaman Ambalau”

Pukul 17.35, kami tiba di Desa Ukai. Perjalanan menuju SDN 10 Menantak kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak bekas gusuran perusahaan. Sampan dititipkan kepada salah satu warga Desa Ukai. Dari sana, saya bergabung bersama rombongan guru dari SDN 8 Mensuang.

Saat memasuki Desa Menantak, hari sudah menjelang gelap. Kami menembus kegelapan dengan bantuan senter dari ponsel. Jalanan di beberapa titik rusak, becek, dan licin. Akhirnya, pukul 18.35 WIB, kami tiba di halaman rumah kepala sekolah. Saya menginap di rumah kepala sekolah, sementara rombongan guru menginap di rumah warga sesuai pengaturan panitia kecil bersama ketua gugus.

Harmoni Tradisi dan Pembelajaran Modern

Keesokan harinya, sebelum kegiatan inti dimulai, sebuah upacara adat menjadi pembuka, mencerminkan kekayaan budaya setempat. Pengurus adat yang diwakili Ketua BPD melakukan prosesi tepas dengan seekor ayam kampung kepada para guru. Selanjutnya, perwakilan sekolah dan narasumber dipasangi manik-manik. 

Ritual ini bukan sekadar tradisi, melainkan sebuah doa dan harapan agar para guru dan narasumber senantiasa diberikan semangat serta perlindungan roh leluhur sepanjang kegiatan. Hal ini menunjukkan bahwa, meski di era modern, tradisi leluhur tak pernah lekang oleh waktu dan tetap dijunjung tinggi.

Docpri : Materi Bimbingan dan Konseling oleh PSP/PS

Docpri : Materi Pengenalan AI dalam Pembelajaran oleh Loly
Selama dua hari penuh, kegiatan berlangsung dengan menyajikan beragam materi, meliputi Bimbingan dan Konseling, Pemanfaatan AI dalam pembelajaran, serta Penyusunan Kisi-kisi soal ulangan. Rangkaian acara ditutup dengan rapat anggota dan laporan pertanggungjawaban panitia penyelenggara. Ini sekaligus menegaskan komitmen KKG dalam mengembangkan profesionalisme guru, dengan tetap menghargai akar budaya.

Potret Unik Kehidupan di Pelosok Desa

Selama kegiatan, beberapa hal “menyentil” perhatian. Peserta bisa mandi di Sungai Jengonoi atau sungai kecil berair jernih, yang bersumber langsung dari perbukitan.

Docpri : Air mengalir dari perbukitan
Pemandangan lain yang menarik perhatian terjadi menjelang malam, sekitar pukul 19.00-20.00 WIB. Di tengah kegelapan, terlihat beberapa warga seperti berbaris di sepanjang jalan dekat kompleks sekolah, memanfaatkan sinyal Wi-Fi gratis dari sekolah yang menyala menggunakan genset. Cahaya ponsel mereka yang menyala bak kunang-kunang menerangi malam. Mereka memakai Wi-Fi ini untuk menghubungi sanak saudara atau anak-anak yang bersekolah di luar daerah.

Ini adalah gambaran indah sekaligus menggelitik, tentang bagaimana perkembangan teknologi belum merata di pelosok desa. Masyarakat di sana hanya bisa menikmati akses internet yang terbatas, serta hanya pada waktu-waktu tertentu saja, itu pun lemotnya minta ampun.

Perjalanan Pulang yang Berkesan

Pada tanggal 5 Juni 2025, saya kembali pulang ke Kemangai. Kali ini, dari Desa Ukai seorang ibu guru ikut menumpang di perahu saya. Kehadirannya sangat membantu karena beliau sangat hafal rute dan alur sungai, menjadi "kompas" yang andal.

Perjalanan pulang terasa lebih menantang karena arus sungai sudah surut, menampakkan bebatuan dengan gelombang yang cukup besar. Beberapa kali, kecepatan mesin harus dikurangi untuk menghindari benturan dengan bebatuan. Akhirnya, pukul 15.01 WIB, saya tiba di rumah dengan selamat, meskipun tubuh terasa sangat lelah.

 

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url