Kolop dan Bohuang: "Pembelajaran dalam Pertemanan yang Tragis" bag. I

bic : bohuang dan kolop naik pohon

Kolop dan Bohuang (kura-kura dan beruang), hidup bersahabat akrab di hutan. 

Suatu hari, Kolop dengan penuh kegembiraan menceritakan pengalamannya kepada Bohuang, 

"Onanai kemarin di hutan, aku menemukan pohon hiran yang sedang berbuah lebat."

Mendengar cerita tersebut, Bohuang sangat senang. Ia pun merayu Kolop agar bersedia menunjukkan tempat di mana pohon hiran tersebut berada. 

Namun, Kolop bersikeras, "Ach, jika nanti ku tunjukkan, takutnya engkau menipu ku lagi."

Tidak menyerah, Bohuang memberikan janji, "Aku berjanji, jika engkau mau memberitahukan tempat pohon hiran, aku akan dengan senang hati menggendongmu ke atas dahan pohon itu." 

Meskipun masih ragu, Kolop akhirnya setuju untuk mempercayai Bohuang.

Baca juga : Merayakan Pergantian Tahun ala Suku Dayak Uud Danum: “Ritual dan Harapan di Tengah Gejolak Emosi"

Dengan langkah mantap, Kolop dan Bohuang memulai petualangan untuk menemukan pohon hiran yang menjadi incaran. 

Ketika Kolop dan Bohuang tiba di hutan, mata mereka tertuju pada pohon hiran yang penuh dengan buah yang menggoda untuk dipetik. 

“Bersiaplah, engkau akan kugendong,” kata Bohuang dengan semangat menggebu.

Dalam sekejap, mereka sudah berada di atas pohon. Kolop diletakkan dengan lembut di atas cabang yang nyaman, sementara Bohuang dengan gesit memetik buah hiran yang menggoda dan memberikannya kepada Kolop. Keduanya menikmati buah tersebut dengan sepuasnya sampai kekenyangan.

Setelah selesai, Bohuang pun turun. Namun, Kolop yang masih berada di atas pohon meminta agar Bohuang menggendongnya turun. 

Tetapi, Bohuang enggan dan berdalih, "Aku hanya berjanji untuk menggendongmu naik, bukan turun." 

“Jatuhkan saja dirimu,” jawab Bohuang lagi.

Kolop tiada berdaya. Ia sudah tahu niat Bohuang. Ia pun berniat memberikan pelajaran kepada Bohuang. 

Sambil memandang ke bawah, Kolop berkata, "Dimanakah dirimu?" “Menjauhlah agar tidak tertimpa tubuh ku,” kata Kolop berpura-pura. 

Bohuang menjawab, “Aku di sini, sambil menggoyang-goyangkan semak-semak.” 

Kolop pun sengaja mencari dimana posisi Bohuang. Lalu, dijatuhkannya dirinya tepat mengenai tubuh Bohuang. Perut Bohuang pun seketika pecah sedangkan Kolop selamat. Kolop segera melarikan diri.

Saat senja tiba, anak-anak Bohuang mencari orang tuanya dan menemukannya tak bernyawa di bawah pohon hiran. Dengan hati yang berduka, mereka membawa pulang mayat Bohuang dan melakukan penguburan.

Kematian Bohuang menimbulkan tanda tanya...

Beberapa hari setelah upacara pemakaman, anak-anak Bohuang memutuskan untuk mengadakan pesta dalok sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada arwah orang tua mereka. 

Mereka mengundang berbagai Lacak (raja) hutan, termasuk Lacak Ular, Lacak Bohuang, dan raja hutan lainnya. Hampir seluruh warga hutan hadir dalam acara tersebut.

bic : hewan hutan berpesta

Satu persatu, para raja hutan diminta untuk menabuh "somotuhtung" (gendang). 

Raja pertama yang diminta adalah Lacak Ular. 

Gendang pun ditabuh. 

"Pak tutuk – pak tutuk, bakat bahtuk, hajok-hajok ku lomoi tonolon ku bahkas atuh," bunyi tabuhan gendang Lacak Ular sambil menunjuk seekor rusa. 

Tanpa menunggu alunan gendang berakhir, sang rusa dengan cepat mengambil langkah seribu. Ia tampak ketakutan akan ditelan oleh Lacak Ular.

Kemudian, giliran diberikan kepada Raja Kolop. 

Alunan gedang menggema, "Pak tutuk – pak tutuk, bakat bahtuk, mahtoi-mahtoi mamak bohut tonopahas juking kook" sambil telunjuknya mengarah pada seekor anak beruang. 

Mendengar bunyi gendang Lacak Kolop yang demikian, seketika para anak Bohuang geram, menuduh dan menangkap Kolop sebagai pembunuh orang tua mereka. 

Misteri kematian Bohuang pun mulai terungkap.

Bersambung ke bag. II : "Kolop dan Bohuang" bag. II

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url