Kolop dan Bohuang: "Pembelajaran dalam Pertemanan yang Tragis" bag. II

 Anak-anak Bohuang merencanakan balas dendam terhadap Kolop, dan mereka sepakat menghukumnya.

"Mari kita asapi dia di atas api sampai kering!" teriak mereka dengan penuh amarah.

Kolop menangis, "Uuii uuii, itulah sebabnya pandangan mataku kabur karena semasa kecil dahulu pernah diasapi oleh ayah dan ibu," sambil menangis Kolop berucap.

"Eh, rupanya ia pernah dihukum seperti itu dan tidak mati, kita ubah hukumannya," teriak anak-anak Bohuang.

"Mari kita menempa punggungnya dengan batu tempa!" teriak mereka dengan kemarahan yang memuncak.

"Uuuiii uii... punggungku tidak rata karena semasa kecil dahulu ditempa oleh ayah dan ibu," Kolop menangis dengan suara isak tangisnya.

"Eh, kalau begitu kita ubah lagi hukumannya," teriak anak-anak Bohuang.

"Baiklah, kita bakar dia!" teriak mereka dengan semakin keras.

"Uuuiii uii... itulah penyebab kepala ku tidak berambut karena semasa kecil dahulu pernah dibakar oleh ayah dan ibu," isak tangis Kolop lagi

"Kalau begitu kita gantung saja dia di ujung pohon pinang di tepi sungai, lalu kita tebang pohonnya," teriak yang lain dengan lebih keras lagi.

"Setujuuuu," jawab yang lain serentak.

"Uuuiii uii... inilah yang tak pernah dilakukan padaku, sekali ini aku pasti mati," raung Kolop dengan keras.

Baca kembali Kolop dan Bohuang: "Pembelajaran dalam Pertemanan yang Tragis" bag. I

Namun, semua jawaban dan tangisan Kolop sebenarnya hanya sandiwara belaka, tetapi anak-anak Bohuang percaya dan merasa senang, yakin bahwa balas dendam mereka akan terlaksana.

Kolop akhirnya dimasukkan ke dalam sangkar ayam. Anak beruk diperintahkan untuk memanjat dan mengikatnya di ujung pohon pinang di dekat sungai.

Pohon pinang pun ditebang. Pohon pinang itu tumbang ke tengah sungai.

"Kolop bulik lobui, Kolop bulik lobui!" teriak Kolop dengan penuh kegembiraan.

Anak-anak Bohuang terperangah. Mereka merasa tertipu. 

Mereka berusaha untuk menangkap Kolop lagi.

Segera mereka meminta bantuan pada Inai Balun Badak, sang induk badak.

Induk Badak  setuju untuk memberikan bantuan.

"Segera cari jantung pisang hutan dan sumbat anusku," perintah Induk Badak.

Ia segera mengambil posisi dan menyeruput air sungai. Tak lama kemudian, air sungai mulai mengering. 

bic : induk badak sedang menyeruput air sungai
Tiba-tiba, muncul kepiting yang menyerupai dedaunan dan mendekati Induk Badak. Penyumbat dijepit kemudian ditarik. Akhirnya, air keluar dengan deras. 

Induk Badak lemas dan menyerah.Ia tak sanggup lagi.

"Segera panggil ular otun unung," perintah anak bohuang yang lain.

Ular otun unung siap untuk membantu mereka.

Ia memberikan pesan, "Jika tatan ihkuh kuk (ujung ekor) bergerak-gerak, segera bantu menariknya karena Kolop sudah ditemukan."

Ia pun menyelam. Di dasar sungai, ular otun unung bertemu dengan Kolop.

"O urai (saudara), anak-anak beruang meminta kamu naik ke daratan," kata otun unung. 

"Apa? kurang jelas, dekatkan dirimu," jawab Kolop berpura-pura.

Otun unung mendekat. Tiba-tiba, Kolop menggigit bibir Otun unung. Otun unung kesakitan. Ekornya pun bergerak dengan keras. Anak-anak Bohuang mengira Kolop sudah ditemukan. Mereka segera menarik ekor otun unung dengan sekuat tenaga. Ternyata, bibir dan kepala ular otun unung berdarah.

"Ngomin pokolong barik (ambil sejumput nasi), segera tambal luka itu," kata Bohuang. Konon, bagian kepala ular otun unung menjadi berwarna putih. Ular otun unung pun gagal membantu mereka.

Kemudian, anak-anak Bohuang meminta bantuan pada Dongon.

Dongon, hewan mirip musang yang lihai menyelam dan memiliki kotoran yang baunya sangat menyengat, bersedia membantu. Ia pun menyelam dan bertemu dengan Kolop.

Pesan anak-anak Bohuang pun disampaikan.

"Ach, inon kok kanik, hicok noh posak jaot lio tahtuk torok nuk bahtuk onop-onop liang erah-erah, tumbuk ah," jawab Kolop panjang lebar.

Dongon pun menjawab dengan lugu, "Ternyata kita masih memiliki hubungan keluarga ya".

Dongon pun kembali naik ke daratan dengan tangan hampa.

Ia menjelaskan kepada anak-anak Bohuang,"Kolop tidak saya tangkap karena kami masih memiliki hubungan keluarga".

"Kotoran kalian berdua yang sama, bukan berarti kalian berdua bersaudara," jelas anak-anak Bohuang geram.

Dongon pun merasa malu dan pergi.

Anak-anak Bohuang merasa kecewa. Mereka gagal membalas dendam.

Kolop akhirnya benar-benar pulang ke kampung halamannya di dasar air.

***tamat***

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url