Liang Basau
Dalam bahasa Dayak Uud Danum, “Liang Basau” berasal dari kata Liang dan Basau. “Liang” artinya hamparan batu ampar, sedangkan “Basau” berasal dari nama seorang anak yang hilang di daerah tersebut. Konon anak itu hilang karena di makan harimau di dalam liang.
Peristiwa itu terjadi ketika keramaian acara dalok yang digelar tak jauh dari Liang Basau. Pada saat itu anak-anak sedang mandi di batu ampar sekitar Liang Basau sambil bersenda gurau. Di tengah keasyikan mereka mandi sambil berkejar-kejaran tiba-tiba di luar dugaan terjadi musibah.
Ada yang datang melapor kepada tetua kampung bahwa ada salah seorang dari anak-anak tersebut diterkam oleh harimau. Anak tersebut bernama Basau. Basau dibawa oleh harimau ke sebuah lubang batu di dalam air di “lavang” agak ke hilir sungai.
Tetua yang mendapat laporan segera bertindak. Mereka mengejar ke mana arah harimau membawa Basau. Basau dibawa oleh harimau ke dasar sungai.
Di dasar sungai didapati lobang kecil. Karena lobang yang terlalu kecil maka orang-orang tidak bisa masuk. Berbagai upaya dilakukan agar harimau mau keluar tetapi tidak membuahkan hasil.
Akhirnya mereka menutupi lubang tersebut dengan menggunakan “jelapong uvung” dengan harapan harimau tidak bisa keluar dan akan mati.
Jelapong uvung adalah batang kayu yang dibuat berbentuk roda yang dipasang di setiap tiang lumbung padi dengan tujuan agar tikus tidak bisa melewatinya. Mayat Basau tidak dapat ditemukan, kuat dugaan Basau sudah dimakan oleh harimau.
Di pinggiran Liang Basau ditanam beberapa tumbuhan hutan, seperti “nangok” (sejenis umbut yang hanya tumbuh di hutan lebat) dan beringin serta rotan marou supaya keaslian hutan Liang Basau tetap terjaga.
***
Narasumber:
Apolonius Sungkala, Sekdes Mensuang
Lusianus Juan Ketua BPD desa Mensuang