Bahtuk Badak
“Baiklah, besok saat kokokan pertama si Banda kita berangkat,” jawab sang ayah tegas.
Banda adalah seekor ayam jago kebanggaan warga sekampung. Semenjak musim tetelo menyerang, hanya Banda yang tersisa. Sekarang Banda beralih tugas sebagai penunjuk waktu bagi penduduk kampung.
Subuh itu adalah untuk pertama kalinya sebuah keluarga kecil sederhana keluar dari kampung halaman. Tujuan mereka adalah ke kota tepatnya Olung Setang.
Pada masa itu orang belum mengenal mesin (speed). Kendaraan utama adalah perahu dan rakit. Perjalanan menghiliri Sungai Ambalau dan Sungai Melawi ditempuh berhari-hari dengan mendayung sampan. Saat kantuk dan lelah mendera mereka singgah di pinggiran sungai sekedar untuk menjerang air untuk menyeduh kopi pahit yang bersanding gula enau. Kala itu sedang memasuki musim kemarau panjang.
Di tengah perjalanan mereka menjumpai kawanan badak yang sedang berenang menyeberangi sungai.
“Ayo kita tangkap barang seekor, lumayan untuk lauk selama perjalanan,” kata sang Ayah.
Dengan perjuangan yang cukup melelahkan , seekor badak tambun berhasil ditaklukkan dengan cara ditombak. Ayah mengajak singgah untuk melepaskan lelah di hamparan batu.
Ibu dengan cekatan mulai memasak nasi sambil menyiapkan rempah. Ayah dibantu sang anak membersihkan daging badak. Tak lama aroma masakan menggoda untuk segera dicicipi.
Usai menikmati makanan, mereka mulai berkemas- kemas untuk melanjutkan perjalanan. Sisa daging dimasukan ke dalam sampan. Hampir saja sampan tidak muat karena banyaknya daging badak.
“Andai kita sedang berada di kampung, tentu daging ini kita bagikan kepada tetangga”, gumam ayah.
Mereka mulai mengayuh sampan kembali. Kira-kira sepenyihpak habis dinikmati, mereka melihat bahwa jauh di hilir samar-samar ada riak orang yang mudik. Semakin mereka menghilir maka benda tersebut juga makin mendekat dan jelas. Ternyata benda tersebut adalah sebuah batu besar.
“Wah, Yah kebetulan batu itu sedang mudik,” teriak sang ibu
“Nah, daging ini kita titipi melalui batu itu saja, pasti sampai ke tetangga di hulu,” sahut ayah tegas.
Sampan segera didayung dengan cepat menuju batu besar. Daging badak sebagian dipindahkan dan diletakkan di atas batu. Sebagian disisakan untuk bekal dalam perjalanan.
Setelah semua dirasakan beres maka sampan kembali bertolak menghilir, sebaliknya batu besar penuh muatan daging badak semakin jauh tertinggal di hulu.
“O nanai sebentar lagi daging badak sampai ke tetangga kita di kampung ya, Yah,”ujar Ibu senang. Dan akhirnya batu besar benar-benar tidak nampak lagi.
Keluarga tersebut benar-benar merasa puas karena batu besar berkenan membawa titipan mereka. Keluarga itu pun sampai di Olung Setang…
Puas mencuci mata dan barteran dengan barang kebutuhan sehari-hari seperlunya. Mereka bersiap pulang ke kampung. Dalam perjalanan mudik mereka berjumpa kembali dengan batu besar. Olalala… ternyata daging badak masih menumpuk dan membusuk di atas batu. Seketika mereka tersadar ternyata bukan batunya yang bergerak…
Untuk mengenang peristiwa tersebut mereka sepakat menamai batu tersebut dengan nama Bahtuk Badak. Batu tersebut sampai sekarang masih ada dan berdiri kokoh di pinggiran sungai Ambalau tepatnya di dusun Jengkahang desa Sakai Kecamatan Ambalau Kabupaten Sintang Kalbar.
***
Cerita ini dikisahkan oleh alm. Ibu ketika penulis masih usia sekolah dasar. Olung Setang = Kota Sintang
Sepenyihpak = mengunyah daun sirih yang dicampuri ramuan lainnya Mudik = menyusuri sungai ke arah hulu
barteran = jual beli dengan cara tukar barang
Bahtuk = batu