Joui Olong dan Anak Bahkai : Arus Sungai yang Berlawanan


Suatu pagi yang cerah, anak bahkai (monyet) dan joui olong (raja kodok) asyik bersenda gurau. Meskipun tempat bermain mereka berbeda, hubungan persahabatan tak pernah terganggu.

Anak monyet dengan lincahnya melompat di atas ranting pepohonan yang menjorok ke tengah sungai, sesekali menyelinap ke hutan dan kembali membawa buah pisang.

Di sisi lain, raja kodok bermain di atas kerikil di pinggiran pantai. Setelah berendam, sang kodok terkadang melompat ke atas pasir dan duduk manis di atas bebatuan besar.

Sambil berjemur dan duduk santai di atas bebatuan, suara khas sang kodok terdengar di tengah lalu lalang manusia yang menghilir.

“Prakkongkong…prakkongkong.”

Konon, pada masa itu, tidak ada istilah melawan arus sungai. Arus sungai tidaklah seperti sekarang, yang hanya mengalir ke satu arah, namun memiliki dua arus yang berlawanan.

Di sisi kiri, arus mengalir ke hilir dari tempat yang lebih tinggi, sementara di sisi kanan, arus bergerak ke hulu dari tempat yang lebih rendah. Keunikan ini menciptakan jalur sungai yang memudahkan perjalanan.

Di sisi kiri sungai, orang bisa dengan lancar menuju hilir tanpa hambatan, sementara di sisi kanan, perjalanan ke hulu terasa lebih mudah.

Baca juga Kelimoi Kolas dan Otuk Hajok: Cincin Ajaib

Keadaan ini membuat perjalanan sungai menjadi pilihan yang nyaman, tidak ada kelelahan menarik sampan melawan arus. Orang merasa senang karena dapat berlayar tanpa kesulitan.

Sistem arus sungai yang unik ini menciptakan pengalaman perjalanan yang efisien dan menyenangkan, memudahkan akses antar wilayah tanpa harus melawan arus sungai.

Dua aliran sungai yang berlawanan memberikan dampak yang berbeda bagi sang raja kodok dan anak monyet.

Bagi sang anak monyet, fenomena ini menjadi pemandangan yang sangat menghibur. Ia senang dapat duduk di atas pepohonan, menyaksikan orang-orang berlalu-lalang. Jika kebisingan mengganggunya, anak monyet dengan lincah melompat dan bersembunyi di balik dedaunan pepohonan.

Namun, bagi sang raja kodok, keadaan ini sangat menjengkelkan. Kepalanya terasa berputar melihat keramaian orang yang tak henti-hentinya bergerak di sepanjang aliran sungai. Telinganya pun terasa pekak oleh kebisingan tersebut. Jika harus bersembunyi di atas daratan yang agak jauh dari pantai, ia tak mampu.

Suatu hari, sang raja kodok berseloroh, “Lebih baik puasa makan dan minum ketimbang tidak berendam di air.”

“Cekrak hooo…cekrak hooo,” jawab anak monyet sambil menghibur dengan tingkah lucunya.

Namun, sang raja kodok merasa semakin tertekan.

“Kepala ku pusing melihat dan telinga ku pekak mendengar suara lalu lalang manusia yang tak putus-putusnya,” keluhnya.

Baca juga Kelimoi: Balun Bahkan dan Balun Asuk: Perkara Makanan Berujung Tragis

Depresi merayap pada hati sang raja kodok seiring berjalannya waktu. Keadaan ini semakin meresahkan, membuatnya berharap agar suatu hari arus sungai tidak lagi berlawanan.

Sang raja kodok bermimpi tentang tepian pantai yang damai dan nyaman sebagai tempat beristirahat. Dia ingin melarikan diri dari keramaian yang terus menerus. Harapan sang kodok adalah melihat perubahan  keadaan sungai, di mana keheningan dan ketenangan dapat menggantikan kebisingan yang selama ini membuatnya lelah.

Pada saat depresinya memuncak, sang raja kodok tanpa sadar berteriak, memohon agar arus sungai hanya mengalir ke satu arah. Meski ia tidak tahu kepada siapa ia memohon.

Sahabat setianya, anak monyet pun juga tidak tau.

Suatu hari, riuh rendah suara teriakan manusia membuat sang raja kodok terbangun.

“Tariiiiikkk,” teriakan itu terdengar samar-samar.

Ketika telapak kaki seseorang hampir saja menginjaknya, sang raja kodok terbangun dengan mata yang terbelalak lebar.

“Prakkongkong…prakkongkong,”

Sang raja kodok terheran melihat arus sungai tiba-tiba hanya mengalir ke satu arah.

Sejak saat itu, hampir setiap hari ia menyaksikan rombongan manusia yang sibuk melawan arus dan menarik sampan.

Namun, ….

Setiap kali melihat kegiatan manusia yang ramai lalu lalang melawan arus, timbul rasa sesal sang kodok.

Keinginannya agar kepala tidak pusing dan telinga tidak pekak justru menjadi sumber kesusahan bagi manusia. Nasi yang sudah menjadi bubur.

Sang raja kodok tersadar bahwa kadang-kadang, harapan yang kita miliki bisa berdampak lebih rumit daripada yang kita bayangkan.


***tamat***

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url