Bahtuk Besurat


Sore itu cuaca cerah. Pertanda musim kemarau sudah tiba. Angin bertiup perlahan. Dari kejauhan kupandangi arus Sungai Lumaluh yang deras dan bergelombang tak henti-hentinya menerjang bebatuan di pinggiran pantai.

Entah mengapa. Pandangan mataku terfokus pada sebuah batu besar yang terbaring santai di tengah-tengah arus sungai. Bahtuk Besurat. Demikianlah dari dulu orang-orang menyebut nama batu tersebut.

Aku mulai melamun. Teringat kembali akan peristiwa masa lalu. Masa dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Ya, tak terasa 45 tahun silam sudah berlalu.Saat musim kemarau tiba, ketika pulang sekolah, bagiku makan dan minum adalah persoalan kedua, yang penting ber

“Ayo kita berenang di Bahtuk Besurat!” teriakan kawan-kawan memanggil.

Setelah meminta ijin, tanpa perlu menunggu jawaban dan persetujuan orangtua, aku pun langsung nyelonong pergi.

Riuh rendah suara sorakan kami. Gemuruhnya gelombang, bercampur baur dengan suara knalpot mesin kendaraan air yang lalu lalang melintasi arus sungai menambah semaraknya suasana kala itu.

Kami bermain kejar-kejaran di atas hamparan batu, sekitaran Bahtuk Besurat. Melompat ke dalam air dan menyelam. Tidak ketinggalan main perosotan di atas “liang bosoling” dan jika merasa agak lelah kami beristirahat sejenak.

Kami berjemur, berbaring dan tidur tiduran di atas Bahtuk Besurat.

“Kalau mandi begini, meskipun perut kosong tetapi terasa kenyang,” seloroh salah satu kawan kami. Kami pun tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Tiba – tiba…

“Cang, ayo pulang”, demikian suara teriakan seorang ibu memanggil nama salah satu teman kami. Di tangannya sudah siap sepotong rotan panjang semeter untuk menakuti-nakuti. Kami pun pulang ke rumah masing-masing, dengan cara mengendap-endap. Takut dimarahi orang tua karena terlalu lama berenang di sungai.

“Kek, kok melamun?” sapa seorang cucu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Di tangan kanannya ia memegang secarik kertas putih.

“Sore-sore kok pegang kertas, apa isinya?” tanya ku ingin tahu.

“Surat undangan,” jawabnya singkat sambil menyodorkan kepadaku.

“… di Dusun Batu Besurat,” Demikian alamat yang tertulis di surat tersebut.

Aku terkesima. Ternyata Bahtuk Besurat ini sudah menjadi nama sebuah dusun di sini. Batu ini pasti punya kisah sampai-sampai namanya diambil sebagai nama sebuah dusun.

Tanpa sadar, aku langsung bertanya kepada si pemegang surat, “Di mana Ibu Duaner sekarang?”

Aku yakin beliau pasti tau cerita tentang Bahtuk Besurat. Yohana Duaner adalah seorang ibu. Usianya sudah di atas 60 tahun.

Beliau salah satu sesepuh masyarakat yang sudah lama berdomisili di Desa Ambalau. Asam garam dan lika-liku kehidupan di tempat ini sudah ia rasakan dan pahami.

Bahtuk Besurat terletak di tengah-tengah arus Sungai Ambalau. Tepatnya di Dusun Batu Besurat, Desa Nanga Ambalau, Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang (Kalbar).

Berjarak kurang lebih 300 meter masuk Sungai Ambalau dari persimpangan Sungai Melawi. Kala musim penghujan dan air sungai banjir, batu ini tidak kelihatan. Saya pun menemui ibu Yohana Duaner. Rumahnya berjarak sekitar lima ratusan meter dari lokasi dimana Bahtuk Besurat berada.

Singkat cerita, ibu Duaner pun mulai berkisah. Pada masa itu, orang-orang menyebutnya Kampung Lumaluh.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url